Rabu, 30 Maret 2011

WIRAUSAHAWAN SEJATI TAK PERNAH MATI..!

Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,
Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat
memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita
yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia
kewirausahaan itu.

ABDUL GHANY AZIZ # Firma Kiagoos dan PT Masayu

Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan
Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.
Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia
mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos
Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual
beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila
naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya
sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak
tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.

Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai
membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &
Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik
berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai
segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk
meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari
sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.

Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun
yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.
Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk
di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan
menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang
Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus
menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena
bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,
mencari peluang baru.

Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk
bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha
dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi
para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya
pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah
air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di
Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.

Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing
dengan pedagang-pedagang non-pribumi yang menguasai jaringan
perdagangan di bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak
tanggung-tanggung ia membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang
masih dalam masa tanam, kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan
kesempatan untuk memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.

Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan
segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di
panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para
petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil
pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah
ia.

Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah
tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya
untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu
membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain
telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para
pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban
yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan
juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang
keturunan, yang dengan perkumpulan- perkumpulannya tidak segan untuk
melancarkan strategi dumping (menjatuhkan harga). Dengan dumping
tersebut, banyak perusahaan-perusaha an pribumi yang harus gulung
tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum
pedagang keturunan.

Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan
Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor
dari Jepang.

Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma
Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga
berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik
Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk
meraih sukses.

Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara
pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang
mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat
mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,
Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang
masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-
produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan
masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama
Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,
Masayu Zaleha.

Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.
Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat
baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.

Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul
gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra
bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam
usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,
ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi
sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-
kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda
yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium
oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang
dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,
semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.
Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,
menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.

Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak
menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau
juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke
Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan
usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti
payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.

Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang
yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,
kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya
pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi
langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah
kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian
diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru
setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.

Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang
tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,
Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan
untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya
uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta
semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa
pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di
daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama
penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.

Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan
Tionghoa itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh
semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang
ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-
barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama
perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia
bisa mengumpulkan sejumlah uang.

Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-
nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu
Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat
dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar
serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan
Indonesia Generasi I).

Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal
sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany
menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang
penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi
dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit
perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu
untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus
bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad
Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.

Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke
Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih
berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan
perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang
tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk
peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.

Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus
menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta
perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.
Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order
dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari
situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak
lain.

Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah
tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java
Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan
perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke
Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang
dan perusahaan-perusaha an Belanda yang tidak senang dengan sepak
terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya
dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat
ulet ini.

Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin
membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke
Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,
antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu
dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di
kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan
yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah
perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter
dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu
Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.

Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.
Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,
ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat
didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi
setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam
perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.

Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977.